January 5, 2025 | admin

Sarjana PBSI Lulus Profesi Sebatas Office Boy

Sarjana PBSI Lulus Profesi Sebatas Office Boy

Rasa penyesalan mendalam menjadi satu-satunya hal yang kini dirasakan oleh Asrul* (28), nama samaran, setelah menempuh pendidikan hingga meraih gelar sarjana di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Lulus dengan harapan besar untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan, kenyataannya ia kini hanya bekerja sebagai seorang office boy.

Menjadi seorang guru, khususnya guru honorer, seharusnya bisa menjadi pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Namun, bagi Asrul, pilihan tersebut justru dianggap seperti memasuki lorong gelap tanpa ujung. Bukan karena ketidakcintaannya pada profesi guru, tetapi karena realita finansial yang sangat menyedihkan. Seperti yang banyak diketahui masyarakat, gaji guru honorer sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Pergulatan Hidup Usai Lulus Kuliah
Asrul merupakan potret nyata dari banyaknya kids lulusan pendidikan yang menghadapi ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Sebagai mahasiswa PBSI, ia pernah bermimpi besar untuk mendidik generasi muda, menanamkan nilai-nilai bahasa dan sastra Indonesia, serta membangun masa depan bangsa. Namun, setelah lulus, ia dihadapkan pada sulitnya mencari pekerjaan tetap di bidang pendidikan.

“Kamu harus siap berjuang dulu,” begitu nasihat yang sering ia dengar dari sesama lulusan. Namun, apa daya, gaji guru honorer yang bahkan tak mencapai standar upah minimum menjadi hambatan besar. “Bagaimana mau fokus mendidik, untuk makan saja kadang pas-pasan,” ujar Asrul dengan nada lirih.

Sarjana PBSI Lulus Profesi Sebatas Office Boy

Antara Gaji Guru Honorer dan Tuntutan Hidup
Realitas menunjukkan bahwa profesi guru honorer, khususnya di Indonesia, masih jauh dari kata sejahtera. Rata-rata gaji yang diterima berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta per bulan, tergantung pada daerah dan kebijakan masing-masing sekolah. Jumlah ini tentu sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama bagi seseorang yang telah berkeluarga.

Asrul sempat mencoba peruntungan menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar swasta. Namun, setelah menjalani pekerjaan tersebut selama enam bulan, ia merasa bahwa pekerjaan itu seperti menggali lubang tanpa dasar. “Saya tidak hanya mengajar, tapi juga sering diminta menggantikan tugas administrasi tanpa tambahan bayaran,” ungkapnya.

Akhirnya, dengan berat hati, Asrul memilih untuk keluar dan mencoba pekerjaan lain. Kini, ia bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan kecil di daerahnya. Meskipun pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, setidaknya gaji yang diterima lebih baik dibandingkan menjadi guru honorer.

Ironi Dunia Pendidikan
Kasus seperti yang dialami Asrul sebenarnya bukan hal baru. Banyak lulusan sarjana pendidikan di Indonesia yang harus menghadapi dilema serupa. Di satu sisi, mereka ingin berkontribusi dalam dunia pendidikan sesuai dengan passion dan ilmu yang dimiliki. Namun, di sisi lain, tuntutan hidup membuat mereka harus memilih pekerjaan yang lebih menjanjikan secara finansial, meskipun tidak linier dengan pendidikan yang telah ditempuh.

Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, salah satunya dengan program sertifikasi guru. Namun, program ini lebih banyak menyasar guru tetap atau pegawai negeri sipil (PNS). Bagi guru honorer, kebijakan ini masih terasa seperti angin lalu karena jumlahnya yang terbatas dan prosedurnya yang rumit.

Mengembalikan Harapan Lulusan Pendidikan

Cerita Asrul seharusnya menjadi cermin bagi dunia pendidikan restaurant Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan para guru, termasuk guru honorer. Salah satunya adalah dengan menaikkan standar gaji minimal sesuai kebutuhan hidup layak. Selain itu, akses untuk menjadi guru tetap juga perlu diperluas agar lulusan pendidikan tidak merasa “terjebak” dalam posisi honorer tanpa kepastian.

Selain peran pemerintah, masyarakat juga dapat berkontribusi dengan memberikan dukungan moral kepada para guru. Menghargai profesi mereka, termasuk guru honorer, adalah langkah kecil namun berarti untuk memberikan semangat kepada mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik generasi penerus bangsa.

Sebuah Pelajaran Berharga
Meski kini bekerja sebagai office boy, Asrul tetap menyimpan mimpi untuk suatu saat bisa kembali mengabdikan diri di dunia pendidikan. Baginya, perjalanan hidup ini menjadi pelajaran berharga tentang kerasnya realita setelah lulus kuliah. “Mungkin bukan sekarang, tapi suatu saat nanti saya ingin tetap jadi guru,” katanya dengan optimisme.

Asrul adalah gambaran dari ribuan, bahkan jutaan lulusan pendidikan yang berharap dapat mengubah nasib mereka. Cerita ini mengingatkan kita bahwa pendidikan, meskipun menjadi fondasi peradaban, masih memiliki tantangan besar di negeri ini. Dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi para pendidik dan lulusan pendidikan di Indonesia.

 

Share: Facebook Twitter Linkedin